Dari Pop, Jazz, hingga Tradisional, Musik Religi Ingin Berkembang
Oleh Irfan Alfred Sinaga (Sabtu,10 Juni 2017)
Grup Djaleuleu percussion siswa SMA Muhammadiyah 1 Bandung
BANDUNG, AYOBANDUNG.COM — Sabtu siang di
minggu pertama bulan Ramadan, di Padepokan Seni Mayang Sunda, Bandung
bergema alunan musik religi dari berbagai aransemen. Mulai dari musik
pop yang umum didengar hingga aransemen musik tradisional khas Jawa
Barat. Mewarnai suasana bulan yang suci ini dengan seni.
Lembaga Seni dan Budaya Manikam Khatulistiwa bekerja sama dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bandung menggelar Festival Musik yang bertajuk religi pada Sabtu (3/6/2017). Festival musik ini merupakan kali keduanya dilaksanakan.
Gelaran ini dibuka dengan penampilan Rampak Kendang Suara Anak Negeri yang didirikan sendiri oleh Lembaga Seni Budaya Manikam Khatulistiwa. Disusul oleh pembacaan puisi Sunda yang dibawakan Rinrin Cindraresmi serta penampilan band religi, Debu, dengan musik gambus andalannya.
Tidak terlepas dari unsur seni dan budaya Indoensia, Festival Musik Religi yang diikuti oleh 120 peserta ini nantinya juga akan menampilkan unsur-unsur seni budaya Indonesia. Mulai dari penggunaan alat musik tradisionalnya, hingga penataan aransemen lagu yang digunakan. “Kami berharap nantinya peserta akan menampilkan unsur-unsur musik yang ada tradisionalnya” ujar Pengurus Manikam Khatulistiwa Bidang Budaya, Ken Atty, saat ditemui AyoBandung di sela-sela gelaran.
120 peserta yang terbagi ke dalam 17 grup ini berasal dari segala kalangan, mulai dari siswa SMA, mahasiswa hingga seniman ternama sekelas Yayan Katho. Masing-masing grup membawakan satu buah lagu wajib pilihan dari panitia serta satu lagu bebas. Lagu Obat Hati karangan Opick menjadi salah satu lagu wajib pilihan yang sering dibawakan oleh para peserta, dua lagu wajib lainnya adalah Tuhan dan lagu legendaris grup musik asal Bandung, Bimbo yang berjudul Ketika Tangan dan Hati Bicara.
Penjiwaan lagu, harmonisasi serta penguasaan panggung menjadi indikator penilaian dalam festival ini. Penggunaan alat tradisional pun menjadi nilai tambah dalam. Hal ini selaras dengan Manikam Khatulistiwa yang selalu memberikan sentuhan tradisi di setiap gelarannya.
Musik religi, bagi salah seorang juri, Feri Kurtis, adalah musik yang disampaikan untuk Tuhan. Tentang bagaimana seseorang mampu menyanyikan atau membawakan musik religi dengan rasanya, dalam artinya menggunakan hatinya. “Di situlah goal yang sebenarnya,” tegasnya.
Bahkan, latar belakang peserta yang tidak berasal dari musik religi bisa jadi salah satu kelemahan. Sebab, dalam memainkan atau membawakan musik religi, dibutuhkan penjiwaan yang dalam. Agar pesan yang hendak disampaikan bisa langsung tertuju pada khalayak yang mendengarnya.
Nantinya akan dipilih tiga grup yang menjadi pemenang. Pemenang dalam Festival Musik Religi ini berkesempatan untuk bergabung dengan Manikam Khatulistiwa.
Seyogyanya, Festival Musik Religi ini menyimpan secercah harapan. Seperti yang diharapkan oleh musisi eksperimental dari limbah botol yang juga menjadi juri dalam gelaran tersebut, Agung Pramudya Wijaya. Ia berharap agar musik religi dengan nuansa etnik bisa menjadi bagian hidup anak muda zaman kiwari. “Bukan hanya sekedar tren di bulan puasa saja,” katanya.
Agung dan Feri sepakat bahwa diharapkan kelak dengan adanya gelaran seperti ini, bermunculan pula musisi-musisi religi yang benar-benar bermain dengan hatinya. Seperti Opick dan Debu, misalnya. Agar khazanah seni budaya Bandung semakin meluas.
Dari; Asri Wuni Wulandari
Editor: irfan Alfred Sinaga
ig; irfanalfredsinaga10/ djaleuleupercussions
Grup Djaleuleu percussion siswa SMA Muhammadiyah 1 Bandung
Lembaga Seni dan Budaya Manikam Khatulistiwa bekerja sama dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bandung menggelar Festival Musik yang bertajuk religi pada Sabtu (3/6/2017). Festival musik ini merupakan kali keduanya dilaksanakan.
Gelaran ini dibuka dengan penampilan Rampak Kendang Suara Anak Negeri yang didirikan sendiri oleh Lembaga Seni Budaya Manikam Khatulistiwa. Disusul oleh pembacaan puisi Sunda yang dibawakan Rinrin Cindraresmi serta penampilan band religi, Debu, dengan musik gambus andalannya.
Tidak terlepas dari unsur seni dan budaya Indoensia, Festival Musik Religi yang diikuti oleh 120 peserta ini nantinya juga akan menampilkan unsur-unsur seni budaya Indonesia. Mulai dari penggunaan alat musik tradisionalnya, hingga penataan aransemen lagu yang digunakan. “Kami berharap nantinya peserta akan menampilkan unsur-unsur musik yang ada tradisionalnya” ujar Pengurus Manikam Khatulistiwa Bidang Budaya, Ken Atty, saat ditemui AyoBandung di sela-sela gelaran.
120 peserta yang terbagi ke dalam 17 grup ini berasal dari segala kalangan, mulai dari siswa SMA, mahasiswa hingga seniman ternama sekelas Yayan Katho. Masing-masing grup membawakan satu buah lagu wajib pilihan dari panitia serta satu lagu bebas. Lagu Obat Hati karangan Opick menjadi salah satu lagu wajib pilihan yang sering dibawakan oleh para peserta, dua lagu wajib lainnya adalah Tuhan dan lagu legendaris grup musik asal Bandung, Bimbo yang berjudul Ketika Tangan dan Hati Bicara.
Penjiwaan lagu, harmonisasi serta penguasaan panggung menjadi indikator penilaian dalam festival ini. Penggunaan alat tradisional pun menjadi nilai tambah dalam. Hal ini selaras dengan Manikam Khatulistiwa yang selalu memberikan sentuhan tradisi di setiap gelarannya.
Musik religi, bagi salah seorang juri, Feri Kurtis, adalah musik yang disampaikan untuk Tuhan. Tentang bagaimana seseorang mampu menyanyikan atau membawakan musik religi dengan rasanya, dalam artinya menggunakan hatinya. “Di situlah goal yang sebenarnya,” tegasnya.
Bahkan, latar belakang peserta yang tidak berasal dari musik religi bisa jadi salah satu kelemahan. Sebab, dalam memainkan atau membawakan musik religi, dibutuhkan penjiwaan yang dalam. Agar pesan yang hendak disampaikan bisa langsung tertuju pada khalayak yang mendengarnya.
Nantinya akan dipilih tiga grup yang menjadi pemenang. Pemenang dalam Festival Musik Religi ini berkesempatan untuk bergabung dengan Manikam Khatulistiwa.
Seyogyanya, Festival Musik Religi ini menyimpan secercah harapan. Seperti yang diharapkan oleh musisi eksperimental dari limbah botol yang juga menjadi juri dalam gelaran tersebut, Agung Pramudya Wijaya. Ia berharap agar musik religi dengan nuansa etnik bisa menjadi bagian hidup anak muda zaman kiwari. “Bukan hanya sekedar tren di bulan puasa saja,” katanya.
Agung dan Feri sepakat bahwa diharapkan kelak dengan adanya gelaran seperti ini, bermunculan pula musisi-musisi religi yang benar-benar bermain dengan hatinya. Seperti Opick dan Debu, misalnya. Agar khazanah seni budaya Bandung semakin meluas.
Dari; Asri Wuni Wulandari
Editor: irfan Alfred Sinaga
ig; irfanalfredsinaga10/ djaleuleupercussions
Hayu urang ngamumule budaya sareng bahasa sunda!
BalasHapusmun sanes ku arurang,, bade ku saha deui?